Mengapa Harus Provinsi Pulau Sumbawa (Bag. 1)

oleh -44 Dilihat
oleh

Opini : Oleh, M. Mada Ghandi

Zul-Rohmi Memasuki Tahun Ketiga:

Disparitas pembangunan antara P. Sumbawa dan P. Pulau Lombok cukup tajam. Gubernur NTB Bang Zul Zulkieflimansyah punya beban besar mengurangi ketimpangan, justru di tengah sederet tekanan berat dampak sosial ekonomi akibat gempa dan menyusul wabah Covid-19. Benarkah hanya pembentukan Provinsi Pulau Sumbawa (PPS) akan menjadi lompatan besar bagi kedua pulau.
__________

iklan

Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) terdiri dari dua Pulau: P Lombok dan P. Sumbawa, ibukotanya Mataram di P. Lombok. Sejak tahun 2000 masyarakat P. Sumbawa memperjuangkan berdirinya Provinsi Pulau Sumbawa (PPS), terpisah dari Pulau Lombok.

Perjuangan yang cukup panjang akhirnya lolos dan paling lengkap memenuhi syarat di antara 8 daerah pemekaran provinsi baru. Tetapi zaman Presiden SBY ada kebijakan moratorium (penghentian sementara) pemekaran wilayah. Sehingga PPS ikut tertunda pengesahannya sampai sekarang jarena Presiden Jokowi belum mencabut moratarium.

Apa urgensi membentuk provinsi sendiri? Mengapa musti memisahkan diri dengan Pulau Lombok?

Membandingkan kedua pulau dalam banyak hal memang terjadi disparitas yang tajam mulai dari kepadatan penduduk, potensi dan beban wilayah, pendapatan asli daerah, tingkat pertumbuhan ekonomi masing2 kota dan seterusnya.

Perlu diketahui dari 5,1 juta jumlah penduduk NTB, 80 % bermukim di P. Lombok dan hanya sekitar 20 % di P. Sumbawa, dari jumlah itu sebagian adalah pendatang. Padahal luas P. Sumbawa hampir 4 x P. Lombok. Betapa jarang penduduk P. Sumbawa. Akibatnya, pemilik lahan pertanian di P. Sumbawa selalu kesulitan mendapatkan buruh tani dan hanya berharap dari Lombok dan Bima.

Jarangnya penduduk P Sumbawa juga, berdampak langsung pada pungutan pajak2 restribusi yang menjadi andalan Pendapat Asli Daerah (PAD). Berdampak pula bagi konsumsi rumahtangga, indikator utama pendorong pertumbuhan ekonomi. Dari yang sedikit itu pula banyak yang bekerja di luar negeri sebagai Pekerja Migran Indonesia (PMI).

Perlu dicatat kendati luas P. Sumbawa 4 kali P. Lombok namun lahan pertanian justru tidak lebih luas dan tidak lebih produktif dibandingkan P. Lombok. Luas lahan produksitf di P. Lombok, 151.281 ha, dan P. Sumbawa 120.912 ha. Menunjukkan pengolahan pertanian, perkebunan dibandingkan dengan luas wilayah tertinggal jauh.

Angka statistik (update terakhir Oktober 2020) menunjukkan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Propinsi NTB per Desember 2019, total Rp 132,7 Triliun. Dari jumlah tersebut bersumber dari sektor pertanian Rp 30,4 T, (22,89 %). Urutan kedua dari Perdagangan Besar dan Eceran Rp 19,7 T (14,92%). Urutan ketiga, bidang pertambangan Rp 17,9 T (13,56 %.). Khusus pertambangan beberapa tahun sebelumnya berturut-turut di urutan kedua. Baru 2018/2019 sedikit turun urutan 3.

Itulah riil 3 besar yang menjadi andalan NTB dan sebagian bidang itu berada di P. Sumbawa yang justru belum optimal pengembangannya.

Sektor tambang misalnya di samping AMNT (dulu Newmont) tidak lama lagi akan dibuka lokasi baru skala Nasional di Dompu (PT Sumbawa Timur Mining) kerjasama Antam dan Eastern Star Resources.

Ada dua di Sumbawa Selatan pengembangan lokasi AMNT dan PT Sumbawa Juta Raya (8.687 ha). Kemudian Tambahan satu lagi di Sumbawa Barat PT Sumbawa Barat Mineral (PT SBM) disamping AMNT, sehingga keseluruhan dengan kapitalisasi beberapa kali lipat besar dari sebelumnya.

Kontribusi hasil tambang bagi provinsi NTB sebagai penyumbang PDRB ke depan tidak bisa dianggap kecil.

PDRB adalah indikator kemajuan ekonomi suatu daerah. Semua transaksi ekonomi dan produksi barang – jasa, serta nilai tambah yang dihasilkan bersumber dari sejumlah bidang ekonomi. Seberapa pun besar PDRB yang dihasilkan suatu daerah maka ratio berdasarkan populasi penduduk.

Mengutip pernyataan Wakil Gubernur NTB 2008/2013 Badrul Munir bahwa P. Sumbawa memiliki sumber daya potensial dan berkontribusi besar bagi NTB dan nasional. Namun agihan anggaran pembangunan oleh negara terhadap P. Sumbawa, tidak proporsional jika dibandingkan P. Lombok. Baik anggaran transfer mau pun sektoral. Akibatnya terjadi ketimpangan pembangunan antar P. Sumbawa dan P. Lombok.

Mengapa ketidakadilan ini terjadi? Di antaranya karena sharing aggaran berdasarkan pada populasi penduduk. Walaupun ada pertimbangan luas wilayah, tetapi indeksnya sangat2 kecil. Hal ini tentu menguntungkan daerah yang jumlah penduduknya besar, walaupun kontribusi pendapatannya kecil terhadap negara.

“Karena itu PPS menjadi sebuah keniscayaan, jika kita ingin cepat lakukan pengembangan dan kemajuan.” Katanya dalam sebuah grup WA.

Bahwa semasa gubernur Tuan Guru Bajang/TGB – Badrul Munir (2008-2013) pernah menggagas pengembangan 2 daerah super prioritas SAMOTA (Saleh, Moyo, Tambora) dan Kawasan Ekonomi Khusus/KEK Mandalika.

Mandila melejit dan menjadi lokasi ajang balap bergengsi dunia MotoGP. Sementara SAMOTA di P Sumbawa belum menunjukkan progress yang berarti. Padahal potensi ekonomi khususnya hasil laut selama ini di Teluk Saleh mengutip data Tim Percepatan Pengembangan SAMOTA mencapai Rp 10 Triliun/tahun.

Begitu pula potensi dan obyek wisata jauh lebih banyak lebih indah dan lebih uniq. Obyek heritage/peninggalan sejarah, wisata budaya. Tetapi road map pengembangan yang menyeluruh belum pernah diluncurkan. Pemasukan dari obyek wisata belum menjadi andalan utama seperti Pulau Lombok.

Masa pemerintahan Gubernur Zulkieflimansyah saat ini sedang mengembangkan pilot project Food Estate di Labangka. Diharapkan proyek Nasional ini akan memberikan triger dan sumbangan besar bagi sektor pertanian, (yang terintegrasi, dengan peternakan, perkebunan dan industri turunannya). Tentu perlu pembuktian beberapa tahun ke depan.

Di bidang investasi nampaknya belum bisa berharap banyak, karena kondisi ekonomi dunia dihantam covid-19 cukup berat. Gagasan pengembangan UMKM yang mandiri dan industrialisasi yang dikebut Gubernur Zul, guna mendukung sektor-sektor produksi nampaknya cukup memberikan harapan baru.

Instrumen industrialisasi sebagai basis produksi, akan memberikan nilai tambah yang selama ini hanya menjual barang mentah yang justru memicu uang sebagian besar terbang keluar pulau.

Pengembangan UMKM yang serius akan menciptakan simpul-simpul produksi baru. Namun hal itu perlu waktu yang panjang untuk bisa memberikan dampak yang significant untuk mengurangi disvaritas pembangunan.

Gubernur Zul punya beban sangat berat. Sejak hari pertama menjabat menghadapi dampak sosial dan ekonomi gempa, berturut menghadapi hantaman wabah covid-19. Pada saat yang sama tentu tidak bisa tutup mata dari ketimpangan pembangunan yang sudah berlangsung lebih dari setengah abad.

Posisi P Lombok pun tidak selalu “nyaman”. Kepadadatan penduduk dan ketergantungan terlalu besar kepada Pulau Sumbawa pun mengakibatkan prosentase tingkat kemiskinan dari November 2019 hingga Maret 2020 mencapai 13,97 % dari jumlah penduduk. Mengakibatkan juga angka stunting balita hingga semester ketiga 2020 mencapai 19,02 % . Merupakan tantangan yang tidak mudah bagi bagi pasangan ini.

Pembentukan PPS sebagai upaya meringankan beban masing2 pulau boleh jadi adalah jawaban paling rasional yang bisa dijadikan lompatan besar bagi kemajuan kedua pulau untuk mengejar ketertinggalan dengan wilayah lain di Indonesia.

P. Lombok akan terus fokus mengembangan pariwisata dan P Sumbawa mengembangkan sektor industri baru, mengintergrasikan gerakan industri Gubernur Zul terhadap potensi utama daerah, seperti pertanian, pertambangan, pilot project food estate Labangka, pengembangan daerah super prioritas SAMOTA, dan jika pun industri pariwisata dianggap penting.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.