Foto Kasat Reskrim Polres Sumbawa
Sumbawa Besar, Nuansantb.id- Kepolisian Resor Sumbawa menetapkan Kepala Desa Jotang Kecamatan Empang berinisial HH, bersama tiga perangkat desa lainnya sebagai tersangka. Penetapan ini terkait kasus dugaan pungutan liar (pungli) pada proses penertiban sertifikat tanah redistribusi.
Kasat Reskrim Polres Sumbawa, AKP Dilia Pria Firmawan, Selasa (14/10) membenarkan adanya penetapan itu. Dikatakan, selain HH, tiga tersangka lainnya yakni RH selaku Ketua Umum Blok, AS selaku Sekretaris Desa, dan DS alias Dedet, yang merupakan staf desa. Mereka diduga terlibat dalam praktik pungutan ilegal terhadap warga yang mengurus sertifikat tanah.
“RH berperan aktif memungut uang dari masyarakat, sementara ketiga tersangka lainnya membiarkan praktik tersebut berjalan, padahal hal itu bertentangan dengan aturan,” jelas Dilia.
Menurutnya, tidak ada satu pun regulasi yang memperbolehkan pungutan dalam program penerbitan sertifikat redistribusi tanah. Uang yang dipungut dari masyarakat pun tidak disetorkan ke Pendapatan Asli Desa (PADes), melainkan digunakan secara pribadi.
Meskipun telah ditetapkan sebagai tersangka, keempat orang tersebut belum dilakukan penahanan. Penyidik saat ini tengah merampungkan berkas perkara untuk segera dilimpahkan ke Kejaksaan Negeri Sumbawa.
“Kami lakukan penanganan secara profesional dan proporsional. Seluruh tahapan SOP telah kami tempuh, termasuk melakukan ekspose ke Polda NTB untuk meminta petunjuk teknis lebih lanjut,” tegasnya.
Untuk mempercepat proses hukum, lanjut Dilia, penanganan perkara akan di-split menjadi dua berkas. Hal ini bertujuan untuk memudahkan proses penyidikan dan memperjelas peran masing-masing tersangka dalam kasus tersebut.
Sebelumnya, pihak kepolisian juga telah memeriksa sejumlah saksi, termasuk dari Badan Pertanahan Nasional (BPN) dan penerima manfaat dari program sertifikat redistribusi.
Diketahui, kasus ini mencuat setelah Kepala Desa Jotang Baru Kecamatan Empang, Ismail, mengungkapkan keresahan warganya yang diminta membayar Rp 3 juta untuk pengurusan sertifikat dan Rp 250 ribu untuk sporadik oleh pihak Desa Jotang, tanpa dasar hukum yang jelas.
“Warga saya yang jadi korban. Sertifikat ini untuk tanah yang sudah turun-temurun mereka kuasai. Tapi saat mau diterbitkan sertifikat, diminta membayar jutaan rupiah,” ungkap Ismail.
Ia menuturkan, sejak pemekaran desa pada 2008, banyak warga Jotang Baru yang memiliki lahan di wilayah Desa Jotang. Namun, proses pengurusan sertifikat kerap menemui kendala, terutama karena minimnya komunikasi dari pihak desa asal.
“Kami sudah berkali-kali mencoba menemui aparat desa, tapi tidak direspons. Bahkan, kami datang ke kantor desa pun tidak ditemui,” keluhnya.
Lebih jauh, Ismail menjelaskan bahwa lahan yang disengketakan sempat diukur pada 2006 untuk program pembukaan sawah baru, meski warga menyatakan keberatan. Saat itu, menurutnya, banyak warga terpaksa berutang demi mengikuti program redistribusi lahan. (**)





